Sepucuk Surat Lusuh – Bag.1

 
“Apa yg bisa aku katakan , mas ? Bapak sudah nerima rembug pakwo Jamil.”

“Tapi lamarannya belum khan ? Biar aku besok ngadep bapak.”

“Tidak akan merubah apapun , mas . .
apalagi pakwo juga menyinggung soal hutang bapak ,
itu khan sama aja dengan memojokkan bapak untuk nerima lamarannya.”

“Kita kawin lari aja , Nis . . . . ”

“Jangan , mas. Itu cuma menimbulkan masalah baru buat keluarga kita.”

“Jangan-jangan sebenarnya kamu suka ya sama Margono ?”

“Mas ! Jangan ngomong gitu , aku cuma mencintai dirimu seorang.”

“Apa karena dia anak orang kaya ?”

“Mas !! Kalau saja aku bisa memilih , kalau saja aku bisa menolak . . .
aku juga tidak mau koq mas , kawin dengan orang yg tidak aku cintai . . .”

Keduanya lalu terdiam.
Air yg mengalir dari belik di sebelah mereka duduk , lamat-lamat terdengar bergemericik.
Sesekali pekik burung hutan memecah kesunyian.
Angin yg kadang berhembus kencang ,
membawa daun-daun jati yg kuning namun lembab ,
jatuh menyentuh tanah yg masih basah oleh hujan semalaman.

Anisa pelahan menyandarkan kepalanya kebahu Ronggo , kekasihnya.

“Kenapa perjalanan cinta orang miskin selalu dihadang oleh harta kekayaan ?”

Ronggo seperti bertanya pada dirinya sendiri.

“Beri aku waktu , Nis. Aku akan mencari kerja di kota.”

“Mana mungkin , mas . . pernikahan di kampung ditunda sebegitu lama ,
lagipula bapak tidak punya alasan untuk menolak , karena selain dikaitkan dengan hutang ,
mas Margono pun dikenal sebagai anak yg baik , tidak pernah ada kabar yg macam-macam.”

“Ya sudah , kamu menikahlah dengan dia . . . aku besok ke kota ,
dan tidak akan pulang sebelum berhasil dalam 2 tahun.”

“Kenapa harus ke kota , mas ? Toh itu tidak akan merubah keadaan kita ,
dengan mas ke kota , perasaanku malah gak tenang , selalu memikirkanmu.”

“Apa kamu ingin aku menyaksikan orang yg aku cintai duduk di pelaminan dengan orang lain ?
Kamu ingin melihat aku sakit , sementara kamu bahagia ?
Kamu kira aku bisa menyaksikan itu ?
Tidak , Nis ! Lebih baik aku pergi dari desa ini , Nis !”

“Mas . . . . ”

Air mata mulai mengalir dari kedua mata Anisa.
Ia tak tahu musti berkata apa lagi , ia cuma seorang gadis , seorang anak tertua ,
yg sudah semestinya berkorban untuk kehidupan adik-adiknya yg masih kecil.
Dan saat ini , ia dihadapkan pada jalan pengorbanan itu.
Ia merasa tak punya pilihan.

“Aku mencintaimu , mas . . . . ”

“Cintamu saja tidak cukup bagiku , Nis. Aku mau dirimu seutuhnya . . . .
Untuk apa kamu mencintai aku sementara pikiran dan tubuhmu milik orang lain ?”

“Mas . . . . ”

“Maafkan aku , Nis. Aku tidak bisa berbuat apa-apa disaat kamu membutuhkan aku.”

Ronggo memeluk Anisa erat-erat ,

ia sadar , ini saat-sat terakhir ia bersama Anisa.
Tekadnya bulat , tidak perduli kedua orang tuanya melarang ,
besok pagi setelah fajar menyingsing , ia akan berangkat ke kota , Surabaya.

Matahari sudah mulai condong ke barat ,
bayang-bayang pepohonan panjang menggapai bumi.

“Kita pulang yuuk.”

“Iya , mas. . . . tapi naik ke makam dulu ya , mas.”

“Mampir ke kuncen (juru kunci) dulu ?”

“Gak usah , mas. Kita berdoa dari luar aja.”

Ronggo mengayuh sepeda naik ke pendopo ,
yg tak jauh dari belik tempat mereka mengobrol.
Di belakang pendopo ada cungkup yg hanya sesekali dikunjungi orang.
Di dalamnya ada makam yg terbuat dari tumpukan batu-batu kapur besar ,
panjang makam itu sekitar dua setengah meter dan menghadap ke timur.
Konon itu adalah makam Dewi Kilisuci , Ratu kerajaan Kediri.

Meski ajaran keagamaan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari ,
mayoritas penduduk pedesaan sekitar Mojokerto ,
yg nota bene bekas kerajaan Majapahit ,
pengaruh adat dan tradisi Jawa , masih nampak cukup kental.

Selesai berdoa di depan cungkup , mereka pun turun ke desa mereka ,
yg terletak di sisi bawah bukit , sekitar 6 kilometer dari cungkup itu.

Seorang lelaki separuh baya berjalan menuju pendopo ,
sambil memanggul karung di punggungnya.
Karung berisi biji-biji jarak , yg dikumpulkannya dari hutan untuk dijual.
 

———————————————————————————————————————-
 

Selesai mencium tangan ke dua orang tuanya ,
Ronggo menaiki sepeda sambil mencanglong tas ransel yg berisi beberapa potong pakaian. .
Membonceng adik perempuan satu-satunya ,
yg akan menghantarkannya ke jalan besar , sekitar 6 kilometer dari rumahnya.
Dari jalan besar itulah baru ada kendaraan sejenis colt yg menuju ke Surabaya.

Baru beberapa meter , didengarnya suara Anisa ,
yg berteriak-teriak memanggil namanya sambil mengayuh sepeda cepat-cepat.
Ronggo pun menghentikan sepeda dan turun.
Anisa menggeletakkan sepedanya begitu saja di jalan desa , berlari menuju Ronggo.
Air matanya satu satu jatuh menyentuh tanah berpasir hitam.

Anisa memeluk Ronggo erat-erat , seakan tak merelakan kepergian Ronggo.
Ronggo seakan membalas pelukan itu dengan setengah hati ,
dipalingkannya kepalanya , memandang pagar-pagar bambu yg rapi berjajar ,
pembatas antara jalan desa dan halaman rumah penduduk yg rata-rata cukup luas.

“Relakan aku pergi . . . .”

Anisa seperti tersadar , pelahan ia melepaskan pelukannya.
Sepucuk surat lusuh yg sejak tadi digenggamnya , diulurkannya pelahan.

“Bacalah . . . nanti . . .”

Ia tak mampu berkata-kata lagi , cuma matanya yg menatap lekat.
Ronggo menerima dan cuma mengangguk pelahan , lalu berbalik menuju sepedanya.
Anisa mengikuti perjalanan Ronggo dengan tatapan dan air mata yg mengalir bak air belik.
Tak dihiraukannya ibu Ronggo yg sejak tadi merangkul pundaknya ,
hingga ketika bayangan Ronggo berbelok dipertigaan jalan desa ,
ia meletakkan kepalanya kepundak wanita separuh baya itu ,
menumpahan semua kesedihan yg masih tersisa sejak semalam.

———————————————————————————————————————-

Perjalanan dari ujung desa Kemlagi ,
melalui jalan aspal yg berlubang-lubang menuju Surabaya ,
tidaklah lebih dari 2 jam , namun terkadang menunggu penumpang penuh yg memakan waktu.
Itu semua semakin membuat perasaan Ronggo bergejolak ,
ingin segera sampai di Surabaya ,
ingin segera menemui Wardoyo teman sepermainannya dulu ,
ingin segera bekerja ,
dan masih berpuluh keinginan lain , yg bermuara ingin menunjukkan pada Anisa ,
ia bisa berhasil dengan upayanya sendiri , bukan karena terlahir sebagai anak orang kaya.

Semua angan membuat ia melupakan kantuknya ,
karena nyaris semalaman ia tidak tidur.
Ronggo merogoh saku bajunya ,
mengambil sepucuk surat yg tampak lusuh oleh genggaman tangan Anisa.
Diurungkannya niat hendak menyobek sisi amplop ,
untuk mengambil surat di dalamnya.

Apalagi yg hendak disampaikan Anisa ?
“Selamat Jalan” ? “Semoga berhasil” ? “Aku tetap mencintaimu” ?
“Maafkan aku” ? “Relakanlah aku menikah dengan Margono” ?
“Semoga menemukan wanita yg lebih baik dariku” ?

Bukankah kemarin setengah harian mereka sudah berbincang panjang lebar ,
ia mencoba mencari dan menawarkan kemungkinan ,
agar mereka tetap bisa bersatu ,
namun dengan berbagai alasan Anisa tetap pada pendiriannya ,
akan menuruti kata-kata bapaknya untuk menerima lamaran Margono dan menjadi istrinya.

Untuk apa sebuah surat yg cuma bermakna pembenaran diri ,
yg pada akhirnya berujung pada kenyataan ,
kepentingan diri sendiri selalu lebih berarti daripada kepentingan bersama.
Kepentingan bersama selalu butuh pengorbanan ,
dan pengorbanan cuma akan mampu dilakukan bila ‘bersama’ adalah tujuannya.

Pengorbanan selalu terasa menyakitkan , diucapkan ataupun dengan diam.

Ronggo memasukkan kembali surat itu ke saku bajunya ,
dengan ragu-ragu . . . . . . .
 
 

BERSAMBUNG.

=================================================

Tinggalkan komentar