Lelaki itu tersentak , namun tak dilihatnya wajah yg menggambarkan sedang bergurau ,
nada suaranyapun terdengar tenang dan datar , meski tetap saja terasa membalut kesedihan.
Lelaki itu tak perlu bertanya , karena Rini segera menyambung ceritanya.
“Waktu itu , aku sedang berjalan bersama bekas pacarku yg baru datang dari Jakarta.
Gak ada perselingkuhan di antara kami , ia juga sudah menikah.
Namun ketika bekas pacarku mengajak aku berbelanja pakaian untuk oleh-oleh istrinya.
Tepat di saat kami berjalan keluar dari toko , suamiku menghentikan motornya di depan toko.
Melihat kami , ia langsung memutar motor dengan kencang dan dari arah berlawanan sebuah bis menghantamnya.
Aku mengira suamiku marah dan cemburu , tanpa mencoba bertanya lebih dulu padaku ,
ketika melihat bekas pacarku merangkulku menuruni anak tangga yg licin ,
agar aku gak terjatuh , karena saat itu aku sedang mengandung 8 bulan !”
Lelaki itu tak mampu berkomentar , ia cuma menghela nafas panjang ,
lalu meraih pundak Rini dan merangkulnya.
“Apalah arti ijazah SMA , meski di kota kecil seperti ini.
Kesempatan gak pernah kudapatkan , meski sudah mencoba mencari pekerjaan kesana kemari ,
sebelum akhirnya aku menerima ajakan mbak Win , tetanggaku.”
“Belum lagi pandangan dan reaksi lelaki dengan status janda yg kusandang.
Seakan janda adalah perempuan yg haus belaian , haus lelaki ,
sehingga mereka dengan berbagai cara mendekati ,
cuma dengan niatan nafsu . . bukan cinta.”
Lelaki itu cuma terdiam mendengar cerita Rini.
“Mertuaku memusuhiku dan bermaksud mengambil anakku , ketika tahu aku bekerja di tempat ini.
Seakan seorang pramuria adalah sama dengan pelacur !!
Dan mereka bermunafik ,
memandang orang yg gak punya kesempatan untuk mendapatkan yg lebih baik ,
sebagai orang nista yg harus dijauhi . . . tanpa mau menyadari , mereka gak membantu apapun.”
“Khan tidak semua seperti itu , tergantung dari pribadinya.
Baik yg menjalani maupun yg memandang.”
Lelaki itu cuma mampu berkomentar mengambang.
“Iya , mas. Aku gak munafik koq , aku kadang mau juga menemani tamu tidur ,
bukan karena uangnya , . . aku khan perempuan normal , pernah punya suami.”
“Bahkan aku pernah lho mas . . . . ”
Rini melepaskan pelukan lelaki itu , lalu memiringkan tubuhnya dan bercerita dengan semangat.
“Seorang bapak-bapak , mas , memaksaku untuk menemaninya tidur ,
gak tau mabuk ato pura-pura mabuk , ngomongnya kasar dan keras . . .”
“Kamu khan cuma pelacur , berapa sih hargamu semalam ?”
“Dia meletakkan setumpuk uang di meja . . . di sebelah ini mas kejadiannya.”
Ia menunjuk ruang sofa sebelah kanan mereka.
“Mas percaya gak ? Uang itu kulemparkan ke mukanya ,
dan aku di skors gak boleh terima tamu 2 minggu , untung gak dipecat , hi.hi.hi….”
Lelaki itu cuma tersenyum lebar , sambil menyulut sebatang rokok , lalu meneguk Greensandnya.
“Tapi banyak juga yg baik koq , mas.
Kadang sedih , kalo pas ada tamu yg keliatannya baik lalu mengajak aku dan aku menolak , karena aku gak mood atau “dapet tamu” , saat dia ke sini lagi dia booking temanku.”
“Yach , namanya laki-laki khan juga bermacam-macam.
Mungkin itu jenis yg suka menclok sana menclok sini , hee.hee.hee..”
(catatan : menclok = hinggap)
“Gak apa-apa koq , mas.
Toh aku hanyalah teman semalam dan memang inilah pekerjaanku.
Aku musti membuat tamu senang ,
meski kadang aku juga ingin mereka membuat aku ikut senang dengan cara yg jujur , yg wajar , tetap menghargai aku sebagaimana layaknya seorang wanita ,
seperti yg mas lakukan , . . .
bukan hanya melihatku sebagai seorang pramuria . . .”
“Aku merasa , . . aku gak berbuat sesuatu yg istimewa untukmu.”
“Aku yg merasakan mas , dan itu membuat aku . . jatuh hati , mas . . padamu.”
Suara musik semakin pelan ,
2 orang lelaki setengah baya telah berjalan menuju pintu keluar.
Lelaki itu lalu merogoh dompetnya , mengambil lembaran uang dan menyelipkan ke tangan Rini.
“Makasih mas , aku gak mau tip darimu.
Aku bahagia , malam ini bertemu denganmu.
Kalo ke sini lagi , temui aku ya , mas.”
Lelaki itu tersenyum dan mengangguk ,
lalu melangkah menuju pintu dan kembali ke kamarnya.
Membawa rasa malu dan kagum atas sikap yg ditunjukkan Rini.
Di dalam kamarnya , lelaki itu berganti dengan celana pendek dan kaos.
Sambil berbaring ia menyalakan televisi
yg hanya menyiarkan TVRI dan sudah mengumandangkan lagu “Rayuan Pulau Kelapa”
Di cobanya mencari channel lain ,
yg menyalurkan siaran televisi luar negri dan video.
Namun pikirannya terisi kejadian yg baru dialaminya , tentang Rini . . .
seorang wanita yg baik namun musti menjalani kehidupan malam demi mencari nafkah , pelukan erat yg membuatnya berdebar dan bergairah , ungkapan yg terus terang dan ach . . .
bagaimana mungkin seseorang semudah itu jatuh cinta ?
Hanya beberapa jam obrolan yg meski sedikit menyentuh sisi kehidupan pribadi ,
mampukah sebagai pertimbangan ungkapan perasaan itu ?
Adakah semua itu hanyalah sebuah trick -agar ia terpikat- ,
dari seorang wanita yg jelas-jelas lebih berpengalaman menghadapi lelaki ,
ketimbang dirinya dalam menghadapi wanita ?
Tiba-tiba pintu kamarnya terdengar diketuk.
“Iya , sebentar.”
Sambil bangkit dari ranjang menuju pintu ,
dipikirannya terlintas tanya , karena merasa tidak memesan apapun.
Sedikit terkejut ketika ia membuka pintu dan melihat Rini telah berdiri di depannya.
“Mas , boleh gak aku numpang tidur di sini ?”
Senyum manis penghias wajah anggun yg sederhana dari riasan ,
tiba-tiba malah menyisihkan kekaguman yg sejak tadi memenuhi benaknya.
“Apakah kamu melakukan hal ini pada setiap lelaki yg kamu suka ?”
Rini tercengang mendengar kata-kata lelaki itu , yg sama sekali tak diperkirakannya.
Beberapa saat ia terdiam ,
air matanya mengambang dan mengalir . . sakit hatinya.
Dengan cepat ia berbalik , menahan isak sambil melangkah menjauhi pintu kamar.
Seakan tersadar , lelaki itu mengejar dan memanggil Rini ,
yg baru mau menghentikan langkah kakinya ketika lelaki itu berhasil memegang bahunya.
“Maaf , . . aku minta maaf.”
Lalu digandengnya Rini masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya.
“Aku tidak bermaksud menyakitimu , hanya . . hanya . . aku terkejut dengan kehadiranmu.”
“Kalau mas mengira aku menawarkan diriku dan berharap imbalan , mas salah !
Kalau mas menganggap aku mau tidur dengan setiap tamuku , mas salah !
Jujur , . . aku menyukai , . . jatuh cinta padamu.
Aku gak tahu , apa yg membuat aku kemari.
Aku berharap melewatkan malam ini bersamamu ,
ngobrol , bergurau , atau apa saja. Tapi . . ach , sudahlah . . lupakan saja.
Sebaiknya aku pulang . . .”
Rini berdiri dan melangkah menuju pintu kamar.
“Sudah malam begini , kamu pulang naik apa ?”
“Entahlah , aku sudah ditinggal mobil antar jemput.”
“Aku antarkan.”
Rini menoleh dan tersenyum tipis , lalu kembali duduk di tepi ranjang ,
menunggu lelaki itu berganti pakaian di kamar mandi.
“Yuuk , aku ambil kunci mobil dulu.”
Mereka melangkah keluar dari kamar ,
lelaki itu bergegas menuju kamar driver untuk mengambil kunci mobil.
Mobil itupun melaju tak terlalu kencang menuju arah luar kota ,
diam yg menjadi jarak di antara mereka oleh kejadian di kamar hotel tadi ,
pelahan mencair dan sirna oleh obrolan-obrolan ringan.
Yg lalu terhenti ketika Rini menunjukkan sebuah jalan tak beraspal di pinggir kota.
Lelaki itu membelokkan mobilnya melewati rumah demi rumah yg rata-rata sederhana.
Rini mencium tangan seorang wanita setengah baya yg membukakan pintu untuknya.
“Ini ibuku , mas.”
Lelaki itupun segera menyalami perempuan itu dengan sedikit membungkukkan badan , dan perempuan setengah baya itupun menyambut dengan mengangguk hormat , lalu masuk.
“Itu anakku , mas.”
Rini mendorong pintu kamar depan ,
dan terlihatlah seorang anak berumur sekitar 2 tahun yg lelap tertidur.
Berkeliling mata lelaki itu
menelusuri kamar tidur yg di beberapa bagian dindingnya terlihat mengelupas ,
hingga menampakkan lulur kering yg terlalu banyak kapur dan bata merah bagian dalam tembok.
“Duduk dulu mas , aku salin sebentar. Maaf ya , merepotkanmu.”
Rini mencium pipi lelaki itu dan kemudian masuk ke dalam kamar tidurnya.
Lelaki itu duduk di kursi tamu yg beralaskan jalinan menjalin (rotan) ,
Ibu Rini yg keluar dari dapur yg berpembatas kain dengan ruang tamu ,
meletakkan gelas tanpa tutup , menampakkan daun-daun teh yg mengambang ,
dan uap panas air yg baru saja dimasak samar mengepul lalu sirna oleh dinginnya malam.
“Monggo dipun unjuk , den.”
Dengan bahasa Jawa yg halus namun tetap tak mampu menyembunyikan logat ngapak.
“Matur nuwun , bu.”
Perempuan itu mengangguk dan tersenyum , lalu masuk ke kamar belakang.
Rini telah keluar dan berganti dengan daster ,
riasan wajahnya yg memang tipis kini telah bersih ,
menampakkan kecantikan wajahnya yg sebenarnya.
Beberapa tanya , jawab , cerita dan canda mengisi waktu , menanti redanya panas teh yg tersaji.
Lelaki itu pelahan-lahan meminum teh yg telah menjadi hangat.
“Aku kembali ke hotel ya.”
“Gak mau tidur di sini ? Atau aku antarkan , biar gak nyasar ?”
Tatapan berharap , senyum manis yg menggoda , mengiringi kalimat bercanda ,
membuat lelaki itu berdiri , namun tak segera melangkahkan kakinya.
Ada pilihan ketiga yg lebih memberati benaknya.
“Aku besok pagi harus ke Pangandaran. Kalau aku kemari lagi , aku akan menemuimu.”
Rini cuma mengangguk lalu dengan cepat dipeluknya lelaki itu erat-erat.
Tak soal siapa yg memulai , namun mereka berciuman lama , seakan enggan saling melepaskan.
———————————————————————————————————————-
2 bulan sudah berlalu.
Kejadian itu memang tak mudah terlupakan begitu saja ,
namun kesibukan pekerjaan membuat lelaki itu tak selalu teringat.
Ia berusaha menganggapnya sebagai sebuah kejadian yg menggenapi perjalanan hidup.
Rasa percayanya pada sikap tulus yg ditunjukkan Rini ,
juga pada pengakuan Rini yg menyatakan jatuh cinta padanya pada pertemuan pertama , bukan semata-mata karena hal lain ,
sesekali diracuninya dengan pemikiran dan rasa sinisnya ,
bahwa apa yg dilakukan Rini padanya , mungkin saja juga dilakukan pada tamunya lain.
Pertanyaan , pendapat , yg sesekali menggelayuti pikirannya ,
seakan terjawab ketika adiknya menelpon ke kantor ,
suatu yg jarang dilakukan keluarganya yg tinggal di sebuah kota kecil.
Karena rumah mereka tak memiliki saluran telpon rumah.
“Mas , ada surat dari Rini Puji Lestari. Mas mau aku kirimkan ke kantor ?”
Ach , bukankah Rini bisa saja melihat data dirinya ketika check in di hotel.
———————————————————————————————————————-
Ungkapan kerinduan , rasa cinta dan harapan untuk dapat bertemu kembali ,
itulah isi surat yg melewati waktu hampir 2 minggu kemudian setelah dikirimkan Rini , barulah sampai ke tangan lelaki itu.
Ia tak tahu musti bersikap bagaimana.
Baginya , ngobrol ataupun bercanda tawa dengan seorang pramuria ,
adalah sesuatu yg biasa , wajar saja terjadi , setidaknya pada segolongan laki-laki.
Meski ia masih juga tak bisa memahami awal kejadian itu , apa dan mengapa ,
ia mengurungkan niat ke kamar malah memilih memasuki nightclub . . sendirian.
Sesekali , ia mau juga ikut ketika teman-temannya mengajak pergi ke diskotik ,
namun ia tak pernah bisa menikmati ngobrol senyaman ketika bersama Rini.
Ada juga rasa rindu mengulang hal seperti itu , . . . dengan Rini.
Bukan !! Bukan karena ia jatuh cinta pada wanita cantik , sederhana ,
anggun dan memiliki pribadi yg menarik itu.
Bukan pula karena keinginan gairah seorang lelaki yg terpenggal saat itu.
Obrolan , canda dan cerita jujur tentang kehidupan nyata , itulah yg ia rindukan.
———————————————————————————————————————-
3 bulan lewat 7 hari , ia memasuki lagi nightclub yg sama , sendiri.
Masih di ruang sofa yg sama , namun malam ini ia adalah pengunjung pertama.
Winarsih , waitress itu masih mengenalinya dan tak lagi menyapanya seperti waktu itu.
“Mau minum apa , mas ? Greensand ?”
“Iya , sama mete.”
“Mau ditemani , mas ?”
Winarsih tetap berusaha menunjukkan keprofesionalannya melayani seorang tamu.
Lelaki itu tersenyum lebar mencoba menutupi rasa malu yg sebenarnya hanya ia sendiri yg tahu , bahwa tujuan atas keberadaanya ditempat itu hanyalah . . .
“Tolong mbak Win ajak Rini kemari.”
Wajah Winarsih sedikit berubah , senyumnya tak lagi selebar tadi.
“Kalo dengan yg lain , gimana , mas ? Ada anak baru , cantik , putih , menyenangkan dan . . .”
Lelaki itu cuma menggeleng pelahan.
“Rini gak masuk ?”
Winarsih lalu duduk di ujung sofa.
“Rini seminggu yg lalu mengundurkan diri , mas.
Seorang bapak yg kerja di pertamina menawarinya menjadi istri mudanya.
Sudah sejak 2 bulan lalu bapak itu mengejar-ngejar Rini.
Rini mengulur-ulur tawaran itu karena mengharapkan bisa bertemu mas lagi ,
sebelum ia mengambil keputusan.”
“Ia cerita kepada saya , sewaktu mas pertama kali kemari ,
ia jatuh cinta pada mas , dan akan menunggu mas selama 3 bulan ,
tidak peduli apakah mas juga mencintainya atau tidak ,
hanya akan berhubungan seperti ini terus atau suatu saat mas mau menikahinya ,
ia tidak peduli , ia hanya ingin merasa menjadi milik mas , ditemani mas ,
agar ia tegar menjalani kehidupan dan tak semakin larut dalam dunia malam seperti ini . . .
Mas mau saya kasih alamat rumahnya yg baru ?”
Lelaki itu terdiam sejenak , lalu menggeleng sambil menghela nafas panjang ,
disulutnya sebatang rokok tanpa disadarinya , di asbak rokoknya masih separuh.
Dihembuskannya asap rokok yg tak segera memudar berbaur dengan udara.
“Gimana , mas. Apa mau melihat dulu yg lain ?”
Lelaki itu cuma menggeleng dan tersenyum tipis.
Ia tak lagi inginkan seseorang ,
yg mungkin saja lebih cerdas , lebih menyenangkan dari pada Rini ,
ia cuma ingin melewatkan malam itu sendiri.
Musik yg terdengar mengalun ,
seakan membawa semua perasaannya ke seratus hari yg lalu.
Oh my love , my darling
I’ve hungered for your touch
A long lonely time
And time goes by so slowly
And time can do so much
Are you still mine
I need your love
I need your love
God speed your love to me
Lonely rivers flow
to the sea to the sea
To the open arms of the sea
Lonely rivers sigh
wait for me , wait for me
I’ll be coming home wait for me
“Semoga Rini mendapatkan kehidupan yg lebih baik.”
Bila ucapan dalam hatinya itu pantas disebut doa ,
lelaki itu berharap Tuhan berbelaskasih mengabulkannya.
Dalam kesendirian , malam itu ia mencoba menyadari ,
kembali ia mendapat sebuah pelajaran , tentang kehidupan , tentang cinta ,
lewat seorang wanita bernama Rini.
Seorang wanita sederhana , mempunyai pribadi yg menarik ,
dan meski memahami prinsip kebenaran , nilai kebaikan ,
namun tak bisa mengelak dari debur ombak kehidupan ,
dan musti menerima apa yg jauh di lubuk hatinya tak diinginkannya ,
demi menyambung hidup dan masa depan anaknya.
Kehidupan memang tidak mengajarkan dengan kata-kata ,
terpatah-patah atau utuh sebuah kalimat.
Tidak juga dengan suara ,
nyaring , bergumam atau terdengar lirih sekalipun.
Ia hanya memberi isyarat , musti dibaca dengan cermat ,
direnungkan dengan khikmat , dipahami sepanjang hayat.
Untuk tambahan bekal perjalanan yg masih menanti dan berselimut kabut pekat.
Yoga Hart
S.O.T.R , Juli ’10
SELESAI
=================================================