Jangan Jadi Pohon Yg Lurus

 
Pohon Yg Lurus
 

“Jangan jadi pohon yg lurus , karena akan ditebang lebih dulu.”

Seorang teman di Ketapang , Kalbar , yg bekerja di Perhutani pernah mengatakan sambil bercanda : “Ada gurauan di Perhutani , jangan jadi pohon yg lurus , karena akan ditebang lebih dulu.”
Kejadiannya dua puluhan tahun yg lalu !

Apa artinya ??
Di jaman Orde baru , pandangan masyarakat pada PNS , mencari seorang yg jujur sama dengan mencari jarum di tumpukan jerami. Ada , tapi amat sangat sulit , yg jujurpun mau tak mau musti berpandai-pandai sikap , agar tidak disingkirkan , ditebang !

Kesimpulannya , kalimat itu hanya cocok untuk orang jujur yg -terpaksa- berada di antara orang curang. Seperti yg dialami temanku itu.

Adakah kalimat itu bisa diterapkan dalam hal lain ?
Menurutku , bisa ! Yaitu dalam bisnis. Bukan berarti musti berbohong tentang materi atau nilai bisnis , namun untuk bernegosiasi dan mengkondisikan diri. Semua pebisnis berharap keuntungan , tapi tanpa harus merugikan.

Namun secara umum , kalimat itu tidaklah tepat diterapkan sebagai prinsip dalam kehidupan kita , betapapun kita belum bisa jadi orang jujur , belum mampu jadi orang baik , tetaplah berusaha dan berusaha . . karena “Kejujuran adalah pelita jiwa.”

Belajar tentang hal baik , bisa dari yg baik bahkan sebaliknya.
Seperti tertulis :

Ex vitiis alienis sapiens emendat suum.
( Orang bijak bisa memperbaiki diri dengan belajar dari kesalahan orang lain. )

Rahayu Sagung Dumadi.
                                                                         Yoga Hart , S.O.T.R   2019
 

=================================================

Sing Njaluk Bakal Entuk

 
Sing Nggayuh
 

Ini , bukanlah tentang materi semata , ada hal-hal yg lebih bermakna bagi jiwa untuk dicari , digapai . . seperti pengetahuan tentang hidup (kawruh) , kebahagiaan , kedamaian . . . . .

Rahayu Sagung Dumadi.
                                                                         Yoga Hart , S.O.T.R   2019
 

==================================================

Ngelmu Iku . . .

 
Ngelmu Iku_2
 

Untuk mempelajari dan memahami suatu ilmu tentang hidup (kawruh) , tidaklah cukup hanya dibaca , dihafal ataupun dijabarkan dengan barisan kalimat indah , namun musti diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan sungguh-sungguh dan hati yg bersih dari pamrih materi ataupun pujian.

Achh , betapa susah dan beratnya untuk menjadi sedikit lebih baik . . .
.

Rahayu Sagung Dumadi.
                                                                         Yoga Hart , S.O.T.R   2019
 

========================================================

Berani Karena Benar

 
Berani Karena Benar_C02
 

Semakin tidak mudah untuk menunjukkan bahwa kita mempunyai landasan kebenaran (secara etika , moral , hukum bahkan agama) ketika berbeda pendapat dan sikap dengan orang lain -apalagi dengan banyak orang-.
Terlebih ketika memasuki koridor-koridor kekuasaan , uang , relasi , famili , ataupun kepentingan diri pribadi yg lebih besar , yg lebih berharga.

Yg salah saja dengan garang berteriak lebih lantang , dengan angkuh bersikap tak acuh , membuta tuli terhadap senyum dan sapaan lembut.
Hmmm , . . mungkin kita terkadang juga begitu.

Rahayu Sagung Dumadi.
                                                                         Yoga Hart , S.O.T.R   2019
 

==================================================

“Jokowi Sang Satryo Piningit”

 
Jokowi di antara warga Kampung Deret di Johar Jakarta
 

Sugih tanpo bondho.
Digdoyo tanpo aji.
Nglurug tanpo bolo.
Menang tanpo ngasorake.

Dulu dan sudah lama aku berusaha memahami ajaran luhur R.M Panji Sosrokartono , kakak dari R.A Kartini , pahlawan emansipasi wanita Indonesia.
Mencoba menerapkan dalam kehidupanku ? Ach , jauh daripada mungkin.

Bahkan aku sempat berpikir , di jaman sekarang , mana mungkin ada orang yang mampu menerapkan ajaran luhur itu.
Namun mengamati perjalanan bpk. Jokowi , akupun tersadar . . .
 

Kalo dibandingkan dengan jajaran orang2 terkaya di Indonesia , Jokowi memang bukan apa-apa.
Tapi tetap saja beliau orang yang kaya bila dibandingkan dengan aku misalnya , yang musti mengais rejeki hari demi hari untuk kebutuhan hidup primer. Meskipun demikian aku tetap mensyukurinya.

Jokowi secara materi tidak merasa kurang sampai harus minta sumbangan ke rakyat Indonesia , ato mengambil jatah proyek-proyek pemerintah seperti yang banyak dilakukan di jaman Orba , yang tanpa harus bekerja keras dengan mudah mendapat keuntungan besar.

Itulah hakikat kaya : “Merasa berkecukupan , tidak merasa kekurangan.”
“Sugih tanpo bondho , kaya tanpa harta.” Mempunyai harta tapi tidak merasa terikat dengan harta itu sendiri.

Dari sisi pandang lain , kaya bukan hanya karena harta duniawi , tapi memilik banyak teman , saudara.
 

Melihat di tivi ato YouTube , ketika beliau berkunjung ke daerah-daerah , menyalami , berbincang bahkan bergurau dengan penduduk setempat , namun tetap tidak mengurangi rasa hormat mereka kepada beliau.
Kewibawaannya karena Jokowi mampu bagai samudra mendengar dan membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi rakyatnya.
Rasa hormat oleh rakyat kepada beliau bukan karena jabatan sebagai Pleciden , maaf salah ketik . . Presiden , tapi karena semua yang dila;ukan beliau untuk rakyat Indonesia.
Itulah makna “Digdoyo tanpo aji , Sakti tanpa ajimat.”
 

Masih teringat ketika beliau menjabat sebagai Walikota Solo , pedagang di Taman Banjarsari di pusat Kota Solo berhasil dipindahkan ke lokasi baru dengan cara “arih wicaksono” , halus dan bijaksana.
Tidak ada pengerahan Polisi Pamong Praja apalagi gabungan TNI dan Polri.
Dialog itupun dilakukan beliau sendiri.

Belum lagi ketika demo Aksi 212 Desember 2016 , tanpa ada rasa takut Jokowi menemui mereka.
Meski sempat ada rumor , sang mantan panglima menyarankan beliau untuk tidak hadir di tengah-tengah pendemo , mungkin agar sang mantan tampak berjasa dan menguasai papan catur.
Namun Jokowi bukanlah orang yang mudah ditakut-takuti , beliau berani “Nglurug tanpo bolo , Menyerang tanpa pasukan.”
 

“Menang tanpo ngasorake , Menang tanpa merendahkan.”
Jokowi sepertinya mempunyai “nolo kadyo segoro” , hati seperti luasnya samudra , tansah “ageng pangapuro” , selalu berbesar hati memaafkan orang lain , meski orang tersebut semula tidak menyukai bahkan membencinya , (mestinya asalkan orang tersebut menyadari kesalahannya).
Beliau tetap berusaha merangkul dan memberi ruang pada orang-orang yang jelas-jelas menempatkan diri di seberang.

Beliau mau dan mampu menunjukkan pada mereka-mereka yang berpemikiran terbalik , bahwa Jokowi bukanlah orang yang perlu dimusuhi , Jokowi berjuang bukan untuk anak , saudara ato kroni-kroninya , Jokowi berjuang untuk memajukan seluruh rakyat Indonesia , dari Sabang hingga Merauke , tanpa membedakan suku dan agama ataupun kelompok tertentu.
 

Jokowi adalah “Satryo Piningit” yang sejak dulu digadang-gadang (diharapkan) muncul untuk memperbaiki berbagai keadaaan yang terlanjur kacau oleh keserakahan segelintir penguasa masa lalu ,
yang tidak mungkin dalam sekedipan mata berubah menjadi rapih dan indah , tidak mungkin dengan doa dan ayat-ayat akan berubah seketika rukun damai sejahtera.
Semua membutuhkan niat baik , kejujuran dan kerja keras , dan beliau sudah menunjukkan dengan tindakan nyata.

Bila seseorang seperti beliau saja masih dihujat , dicaci dan dimusuhi , lalu seperti apakah seorang pemimpin Indonesia yang diharapkan akan membawa negri ini menjadi “Gemah Ripah Loh Jinawi , Toto Titi Tentrem Karto Rahorjo” ??!!
 

Rahayu Sagung Dumadi.
                                                                         Yoga Hart , S.O.T.R   Mei 2019
 

========================================================

Demen Lan Gething

 
Wong Demen ora kurang pangalembana
 

Suka atau benci (tidak suka) terkadang tanpa sebab dan karena.

Apa yg disuka , itulah yg terlihat baik , jeleknya tertutupi.
Apa yg dibenci , itulah yg terlihat jelek , baiknya tersamarkan.
Maka janganlah terlalu menyukai atau terlalu membenci , karena sesaat waktu bergulir , perubahan mungkin saja terjadi.

Rahayu Sagung Dumadi.
                                                                         Yoga Hart , S.O.T.R   2019
 

========================================================

Wanita… (Dan Sebuah Cerita Hindu)

 
42. elena (3D by Robert_Chang)
 
 
Gambarkanlah tentang wanita ,
maka akan kau temukan cinta . . . .
Gambarkanlah tentang cinta ,
maka akan kau temukan kesia-siaan ,
bagai menangkap sinar rembulan dan cahaya pelangi ,
indah dipandang tapi tiada memberi rasa pada raga ,
itu bermakna . . . . . . . . .
cinta tak cukup hanya diurai kata ,
tapi hayati dan perbuatlah……..

kata seseorang……… ( aku )
 
 

Banyak puisi , tulisan , lukisan , tentang makhluk Tuhan yg satu ini ,
seakan di dalam diri wanita terkandung misteri yg tak pernah terkuak ,
ataupun misteri yg tak ada habisnya.

Wanita , . . . . kadang nampak jinak , lemah , memelas ,
tapi seketika juga bisa nampak bengis , tegar dan menakutkan.
Jinak-jinak harimau , kata seorang teman.
Beberapa kali membaca kalimat itu , selalu masih bisa tersenyum.
Kalau jinak-jinak merpati , artinya bila didekati kabur , terbang ,
. . . tapi akan mendekat lagi.
Lha kalau jinak-jinak harimau ,
apa artinya bila didekati menyambut dengan tenangnya , lalu . . . menerkam.
Kalau menerkam dengan rasa sayang sih gak masalah ,
lha kalau menerkam sekaligus memangsa ? ha.ha.ha….
 

Aku mengutip dari sebuah buku ,
tentang rumitnya makhluk Tuhan yg paling seksi ini.

Ketika terjadinya jagad dan seisinya semua ,
Twashtri [1] , hendak menciptakan wanita , untuk teman hidup lelaki.
Namun karena semua bahan yg bagus dan kuat sudah digunakan untuk mencipta lelaki ,
maka dicari dengan teliti dan dikumpulkan bahan-bahannya , yaitu :

01. Bulat bundarnya bulan purnama.
02. Liat lengkungnya tanaman merambat.
03. Tunas muda ujung tanaman merambat yg terpilin melingkar.
04. Gemulai berputarnya rumput (ketika tertiup angin).
05. Lencir rampingnya pohon glagah.
06. Mekarnya bunga.
07. Ringannya dedaunan.
08. Meruncingnya belalai gajah. (meruncing duri)
09. Tatapan mata kidang. [2]
10. Bergantungnya sepasang tawon sejajar. [3]
11. Ramah dan berseri-serinya sinar mentari pagi.
12. Menangisnya mega mendung. (Hujan)
13. Hilir mudiknya angin.
14. Clingusnya trewelu (Kelinci).
15. Berdandan dan berhiasnya burung merak untuk memikat pasangannya.
16. Lunak dan hangatnya dada burung betet (beo).
17. Kerasnya berlian.
18. Manisnya madu.
19. Bengisnya harimau.
20. Panasnya api.
21. Dinginnya salju.
22. Ceriwisnya burung-burung telaga.
23. Dekur beriramanya suara burung derkuku (perkutut).
24. Anggun dan nampak sucinya burung bangau.
25. Kesetiaan burung cakrawala. [4]

Semua itu dijadikan satu adonan dan dibentuk menjadi wanita ,
dan setelah diberi napas kehidupan , diberikannya wanita itu kepada lelaki.
 

Seminggu kemudian , lelaki itu menemui Twashtri dan sesambat (mengeluh).

“Dhuuh Dewa Bathara ,
wanita yg tuan berikan kepada hamba itu hanya membuat celaka.
Setiap hari berteriak bagai ayam betina hendak bertelor.
Senangnya menggoda , merayu , mengganggu orang yg sedang bekerja ,
hingga sedih rasa hati hamba.
Kemana-mana maunya ikut , tak mau ditinggalkan sekejappun.
Selalu minta diperhatikan , hingga membuat bingung hamba yg sedang bekerja.
Sering tiba-tiba menangis tanpa sebab yg jelas.
Tidak boleh tersenggol sedikitpun bahu pundaknya dengan pekerjaan.
Oleh karena itu yaa Bathara , wanita ini hamba haturkan kembali.
Hamba lebih baik hidup sendirian saja , tidak betah rasanya hidup bersama dengannya.”

“Baiklah.” Twashtri menjawab.
 

Seminggu kemudian lelaki itu kembali menghadap Twashtri , ucapnya memelas.

“Dhuuh Gusti , Dhuuh Dewa Bathara , bagaimana hamba ini ,
hidup hamba tanpa teman , sepi , sunyi , rasanya hambar ,
hanya hampa yg berbisik dalam hati.
Hamba teringat akan wanita teman hidup hamba ,
ketika berbicara , bernyanyi , mencibir , mengobrol , bergurau ,
ahh . . . . . sampai enggan rasanya berpisah.
Tawanya yg nyaring cumengkling , seperti irama suara musik.
Bentuk tubuhnya yg indah , membuat mata terasa teduh ketika memandanginya.
Tingkah solahnya yg kadang dibuat-buat , malah membuat perasaan terhanyut.
Ketika memeluk tubuhnya terasa lunak dan hangat ,
kulitnya yg halus seperti meleleh menyatu.
Dhuuh Dewa Bathara , wanita itu hamba mohon kembali.”

“Iya , boleh.” Twasthri mengabulkannya.
 

Belum genap seminggu , lelaki itu kembali.

“Dhuuh Gusti Dewa Bathara , bagaimana sih wanita itu , hamba bingung merasakannya ,
kalau hamba pikir lebih banyak membuat susah daripada senang.
Maka wanita ini hamba haturkan kembali saja.”

“Eee.., kamu itu seharusnya bersyukur , sudah diberi teman pendamping hidup.”

“Bagaimana caranya ? Hamba tidak dapat hidup berkumpul dengannya.”

“Tanpa dirinya kamu juga tidak bisa hidup , entah bagaimana caramu aturlah sendiri.”

“Dhuuh Dewa Bathara , sungguh sulit bagi hamba.
Hidup bersamanya susah , tanpa dirinya juga tidak bisa.”
 
 
—————————————————————————————————————-

Sebenarnya , lelaki dan wanita itu sama rumitnya ,
….unik mungkin kata yg lebih tepat dan lebih positif.
Yg membedakan adalah ,
secara umum , lelaki lebih banyak mempergunakan pikiran dibanding perasaannya ,
sedangkan wanita kebalikannya.

Setiap orang punya keunikan sendiri yg tidak akan pernah sama dengan yg lain ,
maka terimalah , hargailah dan coba pahamilah keunikan pasangan anda.
Janganlah pernah terlontar ucapan membandingkannya (merendahkan) dengan orang lain.
Sebab itu termasuk salah satu titik lemah yg tak boleh disentuh ,
ketika sedang bertukar pikiran (berbeda pendapat atau bertengkar) sekalipun.
 
 

Orang yg gagal masih bisa tersenyum menghibur hati ,
dengan menjadikan dirinya sebagai inspirasi
bagi orang lain untuk berhasil. (Yoga Hart)

                                                                        S.O.T.R , September ’08
 

—————————————————————————————————————-

[1]. Twashtri
Nama Dewa di tanah Hindu , dianggap sebagai Yg menciptakan jagad.

[2]. Kidang tak pernah berani lama menatap sesuatu ,
segera ia mengalihkan pandangannya ketempat lain.

[3]. Perumpamaan pujangga Hindu
tentang keindahan mata wanita ketika berkedip , melirik , dll.

[4]. Burung cakrawala , chakrawarka atau mliwis ,
menurut dongeng Hindu , bila jantan dan betinanya dipisahkan ,
keduanya tidak dapat tidur.

=================================================

Senandung Cinta Seorang Pramuria – Bag.2 (Selesai)

 
Sweet Dreams Are Made Of These

Lelaki itu tersentak , namun tak dilihatnya wajah yg menggambarkan sedang bergurau ,
nada suaranyapun terdengar tenang dan datar , meski tetap saja terasa membalut kesedihan.
Lelaki itu tak perlu bertanya , karena Rini segera menyambung ceritanya.

“Waktu itu , aku sedang berjalan bersama bekas pacarku yg baru datang dari Jakarta.
Gak ada perselingkuhan di antara kami , ia juga sudah menikah.
Namun ketika bekas pacarku mengajak aku berbelanja pakaian untuk oleh-oleh istrinya.
Tepat di saat kami berjalan keluar dari toko , suamiku menghentikan motornya di depan toko.
Melihat kami , ia langsung memutar motor dengan kencang dan dari arah berlawanan sebuah bis menghantamnya.
Aku mengira suamiku marah dan cemburu , tanpa mencoba bertanya lebih dulu padaku ,
ketika melihat bekas pacarku merangkulku menuruni anak tangga yg licin ,
agar aku gak terjatuh , karena saat itu aku sedang mengandung 8 bulan !”

Lelaki itu tak mampu berkomentar , ia cuma menghela nafas panjang ,
lalu meraih pundak Rini dan merangkulnya.

“Apalah arti ijazah SMA , meski di kota kecil seperti ini.
Kesempatan gak pernah kudapatkan , meski sudah mencoba mencari pekerjaan kesana kemari ,
sebelum akhirnya aku menerima ajakan mbak Win , tetanggaku.”

“Belum lagi pandangan dan reaksi lelaki dengan status janda yg kusandang.
Seakan janda adalah perempuan yg haus belaian , haus lelaki ,
sehingga mereka dengan berbagai cara mendekati ,
cuma dengan niatan nafsu . . bukan cinta.”

Lelaki itu cuma terdiam mendengar cerita Rini.

“Mertuaku memusuhiku dan bermaksud mengambil anakku , ketika tahu aku bekerja di tempat ini.
Seakan seorang pramuria adalah sama dengan pelacur !!
Dan mereka bermunafik ,
memandang orang yg gak punya kesempatan untuk mendapatkan yg lebih baik ,
sebagai orang nista yg harus dijauhi . . . tanpa mau menyadari , mereka gak membantu apapun.”

“Khan tidak semua seperti itu , tergantung dari pribadinya.
Baik yg menjalani maupun yg memandang.”

Lelaki itu cuma mampu berkomentar mengambang.

“Iya , mas. Aku gak munafik koq , aku kadang mau juga menemani tamu tidur ,
bukan karena uangnya , . . aku khan perempuan normal , pernah punya suami.”

“Bahkan aku pernah lho mas . . . . ”

Rini melepaskan pelukan lelaki itu , lalu memiringkan tubuhnya dan bercerita dengan semangat.

“Seorang bapak-bapak , mas , memaksaku untuk menemaninya tidur ,
gak tau mabuk ato pura-pura mabuk , ngomongnya kasar dan keras . . .”

“Kamu khan cuma pelacur , berapa sih hargamu semalam ?”

“Dia meletakkan setumpuk uang di meja . . . di sebelah ini mas kejadiannya.”

Ia menunjuk ruang sofa sebelah kanan mereka.

“Mas percaya gak ? Uang itu kulemparkan ke mukanya ,
dan aku di skors gak boleh terima tamu 2 minggu , untung gak dipecat , hi.hi.hi….”

Lelaki itu cuma tersenyum lebar , sambil menyulut sebatang rokok , lalu meneguk Greensandnya.

“Tapi banyak juga yg baik koq , mas.
Kadang sedih , kalo pas ada tamu yg keliatannya baik lalu mengajak aku dan aku menolak , karena aku gak mood atau “dapet tamu” , saat dia ke sini lagi dia booking temanku.”

“Yach , namanya laki-laki khan juga bermacam-macam.
Mungkin itu jenis yg suka menclok sana menclok sini , hee.hee.hee..”
(catatan : menclok = hinggap)

“Gak apa-apa koq , mas.
Toh aku hanyalah teman semalam dan memang inilah pekerjaanku.
Aku musti membuat tamu senang ,
meski kadang aku juga ingin mereka membuat aku ikut senang dengan cara yg jujur , yg wajar , tetap menghargai aku sebagaimana layaknya seorang wanita ,
seperti yg mas lakukan , . . .
bukan hanya melihatku sebagai seorang pramuria . . .”

“Aku merasa , . . aku gak berbuat sesuatu yg istimewa untukmu.”

“Aku yg merasakan mas , dan itu membuat aku . . jatuh hati , mas . . padamu.”
 

Suara musik semakin pelan ,
2 orang lelaki setengah baya telah berjalan menuju pintu keluar.
Lelaki itu lalu merogoh dompetnya , mengambil lembaran uang dan menyelipkan ke tangan Rini.

“Makasih mas , aku gak mau tip darimu.
Aku bahagia , malam ini bertemu denganmu.
Kalo ke sini lagi , temui aku ya , mas.”

Lelaki itu tersenyum dan mengangguk ,
lalu melangkah menuju pintu dan kembali ke kamarnya.
Membawa rasa malu dan kagum atas sikap yg ditunjukkan Rini.
 

Di dalam kamarnya , lelaki itu berganti dengan celana pendek dan kaos.
Sambil berbaring ia menyalakan televisi
yg hanya menyiarkan TVRI dan sudah mengumandangkan lagu “Rayuan Pulau Kelapa”
Di cobanya mencari channel lain ,
yg menyalurkan siaran televisi luar negri dan video.

Namun pikirannya terisi kejadian yg baru dialaminya , tentang Rini . . .
seorang wanita yg baik namun musti menjalani kehidupan malam demi mencari nafkah , pelukan erat yg membuatnya berdebar dan bergairah , ungkapan yg terus terang dan ach . . .
bagaimana mungkin seseorang semudah itu jatuh cinta ?
Hanya beberapa jam obrolan yg meski sedikit menyentuh sisi kehidupan pribadi ,
mampukah sebagai pertimbangan ungkapan perasaan itu ?
Adakah semua itu hanyalah sebuah trick -agar ia terpikat- ,
dari seorang wanita yg jelas-jelas lebih berpengalaman menghadapi lelaki ,
ketimbang dirinya dalam menghadapi wanita ?

Tiba-tiba pintu kamarnya terdengar diketuk.

“Iya , sebentar.”

Sambil bangkit dari ranjang menuju pintu ,
dipikirannya terlintas tanya , karena merasa tidak memesan apapun.
Sedikit terkejut ketika ia membuka pintu dan melihat Rini telah berdiri di depannya.

“Mas , boleh gak aku numpang tidur di sini ?”

Senyum manis penghias wajah anggun yg sederhana dari riasan ,
tiba-tiba malah menyisihkan kekaguman yg sejak tadi memenuhi benaknya.

“Apakah kamu melakukan hal ini pada setiap lelaki yg kamu suka ?”

Rini tercengang mendengar kata-kata lelaki itu , yg sama sekali tak diperkirakannya.
Beberapa saat ia terdiam ,
air matanya mengambang dan mengalir . . sakit hatinya.
Dengan cepat ia berbalik , menahan isak sambil melangkah menjauhi pintu kamar.
Seakan tersadar , lelaki itu mengejar dan memanggil Rini ,
yg baru mau menghentikan langkah kakinya ketika lelaki itu berhasil memegang bahunya.

“Maaf , . . aku minta maaf.”

Lalu digandengnya Rini masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya.

“Aku tidak bermaksud menyakitimu , hanya . . hanya . . aku terkejut dengan kehadiranmu.”

“Kalau mas mengira aku menawarkan diriku dan berharap imbalan , mas salah !
Kalau mas menganggap aku mau tidur dengan setiap tamuku , mas salah !
Jujur , . . aku menyukai , . . jatuh cinta padamu.
Aku gak tahu , apa yg membuat aku kemari.
Aku berharap melewatkan malam ini bersamamu ,
ngobrol , bergurau , atau apa saja. Tapi . . ach , sudahlah . . lupakan saja.
Sebaiknya aku pulang . . .”

Rini berdiri dan melangkah menuju pintu kamar.

“Sudah malam begini , kamu pulang naik apa ?”

“Entahlah , aku sudah ditinggal mobil antar jemput.”

“Aku antarkan.”

Rini menoleh dan tersenyum tipis , lalu kembali duduk di tepi ranjang ,
menunggu lelaki itu berganti pakaian di kamar mandi.

“Yuuk , aku ambil kunci mobil dulu.”

Mereka melangkah keluar dari kamar ,
lelaki itu bergegas menuju kamar driver untuk mengambil kunci mobil.

Mobil itupun melaju tak terlalu kencang menuju arah luar kota ,
diam yg menjadi jarak di antara mereka oleh kejadian di kamar hotel tadi ,
pelahan mencair dan sirna oleh obrolan-obrolan ringan.
Yg lalu terhenti ketika Rini menunjukkan sebuah jalan tak beraspal di pinggir kota.
Lelaki itu membelokkan mobilnya melewati rumah demi rumah yg rata-rata sederhana.
 

Rini mencium tangan seorang wanita setengah baya yg membukakan pintu untuknya.

“Ini ibuku , mas.”

Lelaki itupun segera menyalami perempuan itu dengan sedikit membungkukkan badan , dan perempuan setengah baya itupun menyambut dengan mengangguk hormat , lalu masuk.

“Itu anakku , mas.”

Rini mendorong pintu kamar depan ,
dan terlihatlah seorang anak berumur sekitar 2 tahun yg lelap tertidur.
Berkeliling mata lelaki itu
menelusuri kamar tidur yg di beberapa bagian dindingnya terlihat mengelupas ,
hingga menampakkan lulur kering yg terlalu banyak kapur dan bata merah bagian dalam tembok.

“Duduk dulu mas , aku salin sebentar. Maaf ya , merepotkanmu.”

Rini mencium pipi lelaki itu dan kemudian masuk ke dalam kamar tidurnya.
Lelaki itu duduk di kursi tamu yg beralaskan jalinan menjalin (rotan) ,
Ibu Rini yg keluar dari dapur yg berpembatas kain dengan ruang tamu ,
meletakkan gelas tanpa tutup , menampakkan daun-daun teh yg mengambang ,
dan uap panas air yg baru saja dimasak samar mengepul lalu sirna oleh dinginnya malam.

“Monggo dipun unjuk , den.”

Dengan bahasa Jawa yg halus namun tetap tak mampu menyembunyikan logat ngapak.

“Matur nuwun , bu.”

Perempuan itu mengangguk dan tersenyum , lalu masuk ke kamar belakang.

Rini telah keluar dan berganti dengan daster ,
riasan wajahnya yg memang tipis kini telah bersih ,
menampakkan kecantikan wajahnya yg sebenarnya.
Beberapa tanya , jawab , cerita dan canda mengisi waktu , menanti redanya panas teh yg tersaji.
Lelaki itu pelahan-lahan meminum teh yg telah menjadi hangat.

“Aku kembali ke hotel ya.”

“Gak mau tidur di sini ? Atau aku antarkan , biar gak nyasar ?”

Tatapan berharap , senyum manis yg menggoda , mengiringi kalimat bercanda ,
membuat lelaki itu berdiri , namun tak segera melangkahkan kakinya.
Ada pilihan ketiga yg lebih memberati benaknya.

“Aku besok pagi harus ke Pangandaran. Kalau aku kemari lagi , aku akan menemuimu.”

Rini cuma mengangguk lalu dengan cepat dipeluknya lelaki itu erat-erat.
Tak soal siapa yg memulai , namun mereka berciuman lama , seakan enggan saling melepaskan.
 

———————————————————————————————————————-
 
2 bulan sudah berlalu.

Kejadian itu memang tak mudah terlupakan begitu saja ,
namun kesibukan pekerjaan membuat lelaki itu tak selalu teringat.
Ia berusaha menganggapnya sebagai sebuah kejadian yg menggenapi perjalanan hidup.

Rasa percayanya pada sikap tulus yg ditunjukkan Rini ,
juga pada pengakuan Rini yg menyatakan jatuh cinta padanya pada pertemuan pertama , bukan semata-mata karena hal lain ,
sesekali diracuninya dengan pemikiran dan rasa sinisnya ,
bahwa apa yg dilakukan Rini padanya , mungkin saja juga dilakukan pada tamunya lain.

Pertanyaan , pendapat , yg sesekali menggelayuti pikirannya ,
seakan terjawab ketika adiknya menelpon ke kantor ,
suatu yg jarang dilakukan keluarganya yg tinggal di sebuah kota kecil.
Karena rumah mereka tak memiliki saluran telpon rumah.

“Mas , ada surat dari Rini Puji Lestari. Mas mau aku kirimkan ke kantor ?”

Ach , bukankah Rini bisa saja melihat data dirinya ketika check in di hotel.
 

———————————————————————————————————————-
 
Ungkapan kerinduan , rasa cinta dan harapan untuk dapat bertemu kembali ,
itulah isi surat yg melewati waktu hampir 2 minggu kemudian setelah dikirimkan Rini , barulah sampai ke tangan lelaki itu.

Ia tak tahu musti bersikap bagaimana.
Baginya , ngobrol ataupun bercanda tawa dengan seorang pramuria ,
adalah sesuatu yg biasa , wajar saja terjadi , setidaknya pada segolongan laki-laki.
Meski ia masih juga tak bisa memahami awal kejadian itu , apa dan mengapa ,
ia mengurungkan niat ke kamar malah memilih memasuki nightclub . . sendirian.
Sesekali , ia mau juga ikut ketika teman-temannya mengajak pergi ke diskotik ,
namun ia tak pernah bisa menikmati ngobrol senyaman ketika bersama Rini.

Ada juga rasa rindu mengulang hal seperti itu , . . . dengan Rini.
Bukan !! Bukan karena ia jatuh cinta pada wanita cantik , sederhana ,
anggun dan memiliki pribadi yg menarik itu.
Bukan pula karena keinginan gairah seorang lelaki yg terpenggal saat itu.
Obrolan , canda dan cerita jujur tentang kehidupan nyata , itulah yg ia rindukan.
 

———————————————————————————————————————-
 
3 bulan lewat 7 hari , ia memasuki lagi nightclub yg sama , sendiri.
Masih di ruang sofa yg sama , namun malam ini ia adalah pengunjung pertama.

Winarsih , waitress itu masih mengenalinya dan tak lagi menyapanya seperti waktu itu.

“Mau minum apa , mas ? Greensand ?”

“Iya , sama mete.”

“Mau ditemani , mas ?”

Winarsih tetap berusaha menunjukkan keprofesionalannya melayani seorang tamu.
Lelaki itu tersenyum lebar mencoba menutupi rasa malu yg sebenarnya hanya ia sendiri yg tahu , bahwa tujuan atas keberadaanya ditempat itu hanyalah . . .

“Tolong mbak Win ajak Rini kemari.”

Wajah Winarsih sedikit berubah , senyumnya tak lagi selebar tadi.

“Kalo dengan yg lain , gimana , mas ? Ada anak baru , cantik , putih , menyenangkan dan . . .”

Lelaki itu cuma menggeleng pelahan.

“Rini gak masuk ?”

Winarsih lalu duduk di ujung sofa.

“Rini seminggu yg lalu mengundurkan diri , mas.
Seorang bapak yg kerja di pertamina menawarinya menjadi istri mudanya.
Sudah sejak 2 bulan lalu bapak itu mengejar-ngejar Rini.
Rini mengulur-ulur tawaran itu karena mengharapkan bisa bertemu mas lagi ,
sebelum ia mengambil keputusan.”

“Ia cerita kepada saya , sewaktu mas pertama kali kemari ,
ia jatuh cinta pada mas , dan akan menunggu mas selama 3 bulan ,
tidak peduli apakah mas juga mencintainya atau tidak ,
hanya akan berhubungan seperti ini terus atau suatu saat mas mau menikahinya ,
ia tidak peduli , ia hanya ingin merasa menjadi milik mas , ditemani mas ,
agar ia tegar menjalani kehidupan dan tak semakin larut dalam dunia malam seperti ini . . .
Mas mau saya kasih alamat rumahnya yg baru ?”

Lelaki itu terdiam sejenak , lalu menggeleng sambil menghela nafas panjang ,
disulutnya sebatang rokok tanpa disadarinya , di asbak rokoknya masih separuh.
Dihembuskannya asap rokok yg tak segera memudar berbaur dengan udara.

“Gimana , mas. Apa mau melihat dulu yg lain ?”

Lelaki itu cuma menggeleng dan tersenyum tipis.
Ia tak lagi inginkan seseorang ,
yg mungkin saja lebih cerdas , lebih menyenangkan dari pada Rini ,
ia cuma ingin melewatkan malam itu sendiri.
Musik yg terdengar mengalun ,
seakan membawa semua perasaannya ke seratus hari yg lalu.
 

        Oh my love , my darling
        I’ve hungered for your touch
        A long lonely time
        And time goes by so slowly
        And time can do so much
        Are you still mine
        I need your love
        I need your love
        God speed your love to me

        Lonely rivers flow
        to the sea to the sea
        To the open arms of the sea
        Lonely rivers sigh
        wait for me , wait for me
        I’ll be coming home wait for me

 
“Semoga Rini mendapatkan kehidupan yg lebih baik.”
Bila ucapan dalam hatinya itu pantas disebut doa ,
lelaki itu berharap Tuhan berbelaskasih mengabulkannya.

Dalam kesendirian , malam itu ia mencoba menyadari ,
kembali ia mendapat sebuah pelajaran , tentang kehidupan , tentang cinta ,
lewat seorang wanita bernama Rini.
Seorang wanita sederhana , mempunyai pribadi yg menarik ,
dan meski memahami prinsip kebenaran , nilai kebaikan ,
namun tak bisa mengelak dari debur ombak kehidupan ,
dan musti menerima apa yg jauh di lubuk hatinya tak diinginkannya ,
demi menyambung hidup dan masa depan anaknya.

 
Kehidupan memang tidak mengajarkan dengan kata-kata ,
terpatah-patah atau utuh sebuah kalimat.
Tidak juga dengan suara ,
nyaring , bergumam atau terdengar lirih sekalipun.
Ia hanya memberi isyarat , musti dibaca dengan cermat ,
direnungkan dengan khikmat , dipahami sepanjang hayat.
Untuk tambahan bekal perjalanan yg masih menanti dan berselimut kabut pekat.

                                                                                   Yoga Hart
                                                                                   S.O.T.R , Juli ’10

SELESAI

=================================================

Senandung Cinta Seorang Pramuria – Bag.01

 
Temptation

Setelah menyelesaikan makan malamnya ,
lelaki itu melangkahkan kakinya meninggalkan restaurant menuju ke kamarnya ,
di bagian belakang hotel satu-satunya yg terbaik di kota kecil itu.
Namun baru beberapa langkah kakinya menyusuri area dalam hotel.
Ia berhenti dan menyulut sebatang rokok ,
sepertinya ada sesuatu yg bergayut di pikirannya.
Iapun lalu berbalik menuju bar dan nightclub , yg bersebelahan dengan restaurant.

Cahaya remang , suasana temaram , alunan lagu , sapaan santun dan senyum manis seorang waitress , menyambut dan mengikuti langkahnya.
Suara Farid Harja yg melantunkan “Ini Rindu” ,
mengalun tak terlalu memekakkan telinga ,
mengiringi seorang lelaki gendut separuh baya yg tengah berjoged di tengah ruang bersama dengan seorang wanita.
Sementara di sudut seberang dekat bar ,
di sebuah kursi sofa yg berbentuk huruf “U” ,
dan berbataskan dinding multiplek setinggi orang dewasa dengan ruang sebelah-sebelahnya ,
seorang lelaki yg juga separuh baya , tengah tertawa-tawa sambil menggelitik seorang wanita.

Cuma itu pengunjung nightclub yg menjadi bagian dari hotel tempatnya menginap.
Karena kota kecil pengolahan minyak itu bukanlah tempat pariwisata yg menarik.
Kota buntu , orang menyebutnya , karena tidak terletak di antara kota-kota besar.
Lagipula , nightclub juga bukan pilihan banyak orang untuk menikmati hiburan malam.

Lelaki itu memilih sebuah ruang sofa yg tak terlalu sudut.

“Mau minum apa , pak ?”

Tanya waitress yg terlihat menarik meski tak bisa dipungkiri ,
usianya tak lebih muda darinya ,
namun keprofesionalan membuatnya musti menyapa demikian.

“Ada Greensands ?”

Lelaki itu bertanya ,
menampakkan keragu-raguan akan keberadaannya di tempat itu.

“Ada , pak. Mau yg dingin atau pakai es batu ?
Camilannya , kacang , mete , emping ?”

“Es batu aja , . . sama mete , mbak.”

Waitress itupun mengangguk dengan memamerkan senyum manisnya.
Tak terlalu lama waitress itu kembali dengan nampan berisi segelas es batu , sebotol Greensand dan sepiring kecil mete.
Sambil menuangkan Greensand waitress itu bertanya.

“Bapak tamu hotel kami ?”

“Jadikan satu dengan tagihan hotel ya.”

Lelaki mengangguk sambil menjawab , matanya menatap ke arah seberang ,
lelaki gendut setengah baya yg tadi berjoged telah duduk di ruangnya ,
terlihat sedang mencium pipi wanita yg menemaninya tanpa malu-malu.
Lelaki itu memaraf bill yg disodorkan padanya di atas nampan kecil.

Entah memang sudah menjadi bagian dari Job Discription seorang Waitress ,
atau karena ia mengetahui lelaki itu sendirian dan memandang ke arah seberang , seakan iri melihat 2 tamu lain ada yg menemani , ia lalu berkata.

“Bapak , mau ditemani ?”

“Sama mbak ?”

“Saya tidak boleh menemani tamu , pak. Mari pak , saya antar.”

Gerak tubuhnya mengisyaratkan agar lelaki itu berdiri ,
untuk diantarkannya pada sebuah ruang yg berdinding kaca tembus pandang satu arah.
Sehingga setiap tamu bisa dengan leluasa mengamati dan memilih ,
dari wanita-wanita yg duduk dikursi sofa dan terletak agak tinggi.

“Ach , . . . mbak saja tolong pilihkan untuk saya.”

“Type yg bapak suka ? Gemuk , kurus , . . atau yg bisa diajak kencan ?”

Waitress itu kini memperlihatkan lagi sisi keprofesionalannya dengan nada yg biasa saja , menawarkan manusia lain yg berprofesi sebagai pramuria , layaknya sebuah benda.
Dan iapun tak merasa perlu menjelaskan lebih lanjut tentang makna kalimat terakhir.

“Apa sajalah , asalkan enak diajak ngobrol , . . cerdas.”

Waitress itu menatap sesaat ,
bukan hanya sekali ini ia musti memilihkan pramuria untuk seorang tamu ,
tapi baru kali ini ia mendengar permintaan dengan kriteria “cerdas”.
Waitress itu tersenyum dan mengangguk sembari mengucapkan pelahan sebuah nama.

“Mbak . . mbak . . ”

Lelaki itu memanggil waitress yg baru berbalik dan berjalan dua langkah.

“Iya , pak ? Bapak mau memilih sendiri ?”

“Bukan , satu lagi . . . masih bernafas.”

“Haa..haa..haa.. upppps.”

Waitress itu tertawa keras meski segera tersadar ,
sambil tersenyum-senyum ia meninggalkan lelaki itu.
Tak berapa lama , ia kembali dengan seorang wanita berusia sekitar 25 tahun bergaun putih setinggi lutut.
Gaun berbordir bunga-bunga kecil jarang-jarang , sesekali berkerlip memantulkan cahaya lampu.
Tubuhnya padat namun tak nampak gemuk ,
dengan rambut menggelombang indah sepunggung.
Anggun !
Dengan gaun putih dan dandanan yg tampak sederhana meski di keremangan ,
ketimbang sebagai seorang wanita yg bekerja sebagai pramuria ,
ia lebih nampak sebagai seorang ibu rumah tangga yg kesasar ke nightclub ,
atau seorang istri yg mencari suaminya yg suka dolan ke nigtclub.
Itu yg terlintas dalam benak lelaki itu.
 

“Rini.”

Nada suara dan gayanyapun tak menyiratkan sebagaimana pramuria kebanyakan ,
yg telah bertemu dan menemani entah berapa banyak lelaki ,
-dengan karakter dan kelakuan serta keinginan yg berbeda- ,
yg dengan cepat mengucap kalimat menggiring pada suasana keakraban sebuah dunia malam.
Lelaki itu cuma tersenyum dan mengangguk , lalu bertanya.

“Mau minum apa ?”

“Coca cola saja , pak.”

“Gak mau minum bir , wisky atau yg lain ?”

“Bapak sendiri cuma minum Greensand , gak minum bir.”

“Aku gak mau minum bir , meski satu gelas dikasih uang seratus ribu.”

Lelaki itu berkata sambil melirik kepada waitress yg berdiri di sisi sofa ,
bahkan seakan ikut menikmati percakapan yg membuatnya musti menunggu ,
yg juga tersenyum senang ketika lelaki itu mengangguk dan tersenyum , menyetujui pilihannya.

“Kenapa , pak ? Haram ya ?”

“Enggak , kalo dikasih dua ratus ribu aku mau.”

“Hi.hi.hi….. saya kira gak mau birnya.”

“Tambah coca cola sama mete , ya mbak. Makasih.”

Waitress itupun berlalu.
Tak lama telah kembali dengan membawa pesanan lelaki itu.
 

“Sedang ada tugas di sini ya pak ?”

“Iya. Tadi habis makan sudah mau kembali ke kamar , malah nyasar ke sini dan ketemu Rini.”

“Saya tadi malah sudah ketiduran , sepi siih , hampir tiap malam ya seperti ini.
Untung dibangunin mbak Win . . jadi ketemu sama bapak.”

“Mbak Win ? Nama lengkapnya Winoto ? Haa.ha.ha..”

“Hi.hi.hi. Namanya Winarso . . eh , Winarsih , pak.”

“Hee.hee.hee.. Coba deh , kamu lihat ke seberang sana . . . setua merekakah aku ?”

“Ooo . . iya deh , aku panggil mas aja yaa . . . ”

Rini kini tak lagi ber”saya” dan ber”bapak”.
Lelaki itu tersenyum lalu menawarkan rokok , yg dijawabnya dengan pernyataan tidak merokok.

“Kalo di tempat seperti ini , ingat istri gak , mas ?”

“Aku belum punya istri koq.”

“Owww . . . . ”

Rini yg duduk di kursi sisi sebelah , meski berdekatan namun tak rapat ,
nampak memandangi wajah lelaki itu dengan tatapan mata takjub mendengar jawaban itu.

“Kenapa ?”

“Sama seperti jawaban sembilan dari sepuluh laki-laki yg aku temani.”

“Haa..haa..haa..”

Lelaki itu semakin tertarik dengan wanita yg menemaninya ,
yg tidak mengumbar ataupun memancing dengan kata mesra ataupun porno ,
menunjukkan bahwa ia memiliki selera humor yg baik dan cerdas.

“Baiklah , aku akan mengaku , sini aku bisiki.”

Lelaki itu memegang lengan Rini yg lalu bergeser mendekatkan diri ,
sehingga kini mereka duduk di satu sisi sofa yg sama dan berbisik di telinga Rini.

“Aku belum punya istri.”

Rini meraih dan menggenggam tangan lelaki itu dan berkata dengan tersenyum manis.

“Iya , mas. Mas hampir saja membuat aku percaya , kalo saja aku tidak melihat cincin ini.”

Ia memainkan cincin di jari manis tangan kiri lelaki itu.

Lelaki itu tertawa lagi , ia bisa saja tidak menanggapi kata-kata Rini ,
toh tidak akan teringat lagi setelah mereka berpisah.
Namun ia melepaskan cincin itu dan menunjukkan pada Rini.

“He.he.he… kamu pinter , tapi sekali ini kamu salah.”

“Iya deh , aku percaya. Berarti baru bertambah satu lelaki jujur yg kutemui , dalam tiga bulan ini.”

“He.he.he….. lebih banyak yg bohong ya ?

“Hi.hi.hi. Sesama laki-laki khan lumrah kalo saling menutupi , pura-pura gak tahu.”
 

Obrolan-obrolan ringan yg sering diringi dengan canda tawa , mengisi waktu mereka.
Kedua lelaki separuh baya di seberang lelaki itupun sedang asyik bergurau dan bermesra.
Hingga ketika terdengar lagunya Art Company , “Suzanna” , namun ruang tengah tetap kosong.
Rini mengajak lelaki itu sambil menarik pelan tangannya.

“Mas , kita turun yuk.”

“Aku gak bisa disko apalagi njoged.”

“Dansa aja ya ?”

Tanpa menunggu jawaban lelaki itu , ia lalu berdiri dan menuju sebelah bar.
Tak lama ia kembali dan terdengarlah “Unchained Melody” nya The Road.
Ia mengulurkan tangannya , menarik pelahan tangan lelaki itu.

“Aku gak bisa , Rin.”

“Gampang koq , mas. Aku ajari.”

Di tengah ruang nightclub ,
Rini tanpa canggung merapatkan tubuhnya dengan lelaki itu ,
dan meraih tangan kanan lelaki itu lalu meletakkan di pinggangnya ,
sedang tangan kiri lelaki itu dilingkarkannya di pundaknya.
Semakin dirapatkannya tangan kanan lelaki itu agar memeluknya erat-erat.

“Mas ikuti saja langkahku.”

Berdebaran dada lelaki itu ketika Rini menempelkan bibirnya ke telinganya
dan mengucapkan kata-kata itu dengan berbisik.
Rini merasakan debaran dada lelaki itu , ia lalu menyandarkan kepalanya di bahu lelaki itu.

Hingga lagu “Uncahined Melody” selesai dan dilanjutkan dengan “Somewhere Between”
Rini tak merenggangkan sedikitpun pelukannya ,
yg membuat perasaan lelaki itu semakin bergejolak dan cuma bisa melenguh pendek.
Gairah kelelakiannya seakan hendak menggapai awan tinggi.
Hingga lagu ke dua selesai , ia menikmati suasana di temaram lampu nightclub.
 

“Rin . . .”

Lelaki itu berbisik di telinga Rini yg seakan tertidur dalam pelukannya.

“. . . Iya , mas . . mau duduk ?”

Lelaki itu mengangguk dan sekilas nampak sudut-sudut mata Rini basah , ia menangis . . .
Itulah rupanya yg terasakan oleh dadanya , . . air mata.

Di sofa , lelaki itu menyodorkan saputangan , namun Rini hanya diam memejamkan matanya.
Lelaki itupun pelahan menyeka sisa-sisa air mata di sudut mata dan di pipi Rini.

“Terima kasih , mas. Mas pengertian banget.”

Lelaki itu cuma tersenyum , lalu menyodorkan gelas Rini.

“Minumlah , biar air matamu yg keluar tergantikan.”

Rini malah menggenggam tangan lelaki yg memegang gelas dan mendekatkan ke mulutnya , meneguk coca-cola pelahan.

“Nanti kalo aku nangis lagi , air mataku berwarna coklat , hi.hi.hi..”

Kembali obrolan , canda dan tawa di antara mereka tercipta ,
di antara suara musik yg lembut dan tenang ,
seakan mengimbangi waktu yg semakin menggelincir ke puncak malam.

“Kenapa koq Rini bisa kerja di sini ?”

Sebuah pertanyaan biasa , namun tetap saja bernada minor.
Seakan nightclub hanyalah tempat yg dekat dengan kemaksiatan dan semua yg beraroma “dosa”.
Seakan orang yg menjadi pramuria , selalu hanyalah pelaku “dosa” ,
Sementara ada sisi lain yg tak pernah dibaca dengan kearifan dan dipahami dengan kesadaran ,
itulah kehidupan seorang manusia , itulah cara ia melanjutkan kehidupannya.
Andai bisa memilih untuk bertukar peran , siapakah yg akan tersenyum sinis ?

Lelaki itu sebenarnya sudah siap mendengar kalimat-kalimat klise dari bibir Rini.
Cerita tentang “dihamili dan dikhianati pacar” , “ditinggal suami kawin lagi” ,
“bercerai karena sering dipukuli” , “tidak diberi uang belanja” dan kalimat lain yg senada.
Namun suara pelahan yg didengarkannya kali ini , akan membuat ia tak pernah lupa.

“Aku membunuh suamiku . . . .”

BERSAMBUNG.

=================================================

Sang Dermawan – Bag.2 (Selesai)

Give_Love_s
 
Suatu ketika , lelaki pincang itu mengajukan tanya ,
yg tak pernah diduga sang dermawan ,
akan keluar juga dari mulut lelaki itu.

“Mengapa anda masih memberi derma kepada seorang penerima ,
yg sebenarnya sudah tidak lagi pantas menerima derma.
Malah aku tahu , ada seorang lainnya yg berada dalam strata memberi ,
namun nampak lebih menikmati keberadaannya sebagai menerima.

Bila bukan lelaki pincang itu yg bertanya ,
sang dermawan mungkin sudah langsung memerah raut mukanya ,
meski tetap akan menjawab dengan santun dan ulasan senyum.

Hati indah , mulia . . bukanlah berarti tidak akan ada sesuatu apapun ,
yg bisa mengusik kesendirian , keberadaannya.
Pengetahuan yg dalam , luas . . bukan berarti tidak akan melakukan kesalahan ,
bukan berarti akan selalu mampu menerapkan bijak pada setiap kehidupan.
Semua masih akan terpengaruhi oleh segala sesuatu disekelilingnya.
Bintang-bintang akan tampak berkerlipan di malam hari ,
bila tak ada mendung yg menyelimuti ataupun hujan yg menyelubungi.

“Berderma , memberi , adalah sebuah hal baik , dan aku suka melakukannya.
Apakah keberadaan mereka membuatmu iri ?
Sedang kepadamu selalu dan telah kuberi lebih dari mereka semua.”

“Aku tidak iri , dan aku tahu bahwa itu hakmu sepenuhnya.
Namun dengan memberi kepada yg jelas sebenarnya mampu memberi ,
akan membuat ia tidak akan lagi punya kemauan dan kesadaran untuk memberi.
Ia akan semakin terbenam dalam kenikmatan menerima.”

Sang dermawan mulai memerah mukanya ,
gemelatuk giginya yg beradu tak mampu disunyikan ,
darah mengalir melewati nadi lebih deras ke penjuru tubuhnya.
Ia mencoba mengakui kebenaran kata-kata lelaki pincang itu ,
tapi keberadaannya sudah kokoh , tak mudah tergoyah oleh apapun.
Terlebih yg membuatnya sulit menerima adalah ketika kesukaannya disinggung.
Ketika sang dermawan hanya terdiam.

“Atau sebenarnya engkau mendapatkan dan menikmati ,
kepuasan bathin di sisi kedermawananmu , ketika mereka membungkuk ?”

Kata-kata itu bagai sembilu yg menggores jantungnya ,
membuat darahnya semakin mengucur tak karuan arah.

“Aku sudah memberimu lebih dari mereka ,
mengapa engkau tega mengatakan sesuatu yg sebenarnya tak layak kau ucapkan , betapapun pengetahuan dan kebijaksanaan ada pada dirimu.
Jangan pernah lagi kau usik hal itu !”

Sang dermawan bangkit dari duduknya , mengucap permisi ,
dan segera meninggalkan lelaki pincang itu.
 

Lelaki pincang itu menunduk ,
bahkan suara mengucap ‘terima kasih’ pun nyaris tak terdengar.
Ada sesal menyengatnya ,
ketika ternyata ia telah menguak suatu kenyataan , suatu kebenaran ,
namun menyakitkan perasaan sang dermawan ,
yg telah berbuat banyak hal baik kepadanya ,
yg telah memberi perhatian dan merelakan waktu untuknya.

Lelaki pincang itu menyadari , dirinya . . .
Terlalu lurus untuk sebatang pohon ,
yg berarti akan ditebang lebih dahulu dari pohon-pohon lain ,
yg membengkok ataupun menyabang.
Terlalu jernih untuk sebuah sendang yg didiami ikan-ikan ,
yg berarti membuat orang akan memancing bahkan menebar jala ,
untuk menangkap ikan-ikan itu dan akan membuat airnya keruh ,
bahkan membuat ia akan disebut kubangan lumpur.

Ia bertanya pada diri sendiri ,
mengapa ia tak bisa berdiam atau hanya memandang dan tersenyum ,
bahkan kalau perlu bersikap manis dan lucu ,
seperti yg dilakukan satu dua penerima lain ,
agar sang dermawan tetap bisa menikmati kesukaannya berderma ,
agar sang dermawan tetap mengunjungi gubugnya dan memberinya lebih ,
agar sang dermawan tidak terlukai hatinya.

Toh sekalipun benar ,
perkataannya tidak akan mampu merubah mendung menjadi terang ,
. . . . . kecuali ia mampu menjadi matahari !
Tapi bukankah ia hanya seorang lelaki pincang ,
yg bahkan menatap matahari saja seakan tak lagi punya nyali.

Pelahan ia menatap keluar jendela ,
ach , . . bukan jendela tepatnya , itu hanyalah lubang dua bilah papan ,
yg bila malam ataupun hujan turun ,
ditutupinya dengan karung bekas tempat beras yg dibawa sang dermawan.

Dilihatnya seekor burung pipit bertengger di dahan pohon dekat gubugnya.
Burung itu berkicau dan terus berkicau ,
meski tak seorangpun mengerti . . . .
meski tak seorangpun peduli . . . .
karena ia memang ditakdirkan untuk berkicau.

Di waktu kemudian , dimana sang dermawan datang untuk memberi derma.
Lelaki pincang itu memilih untuk tidak pergi berkumpul ,
dengan mereka di taman tempat biasanya.
Ia pun tidak berani berharap ,
sang dermawan akan sudi singgah lagi ke gubugnya ,
setelah peristiwa beberapa waktu lalu.
sekalipun jauh direlung hatinya , ia ingin bertemu dengan sang dermawan.
Untuk mengucap “maaf”.
Sekalipun ia sadari benar ,
“maaf” tak akan mengembalikan bintang-bintang pada malam.

Sesal , sedih , gundah , malu , dan entah rasa minor apalagi ,
yg menyatu membentuk adonan memenuhi perasaan dan pikirannya.
Berpuluh andai dan berharap waktu kembali ,
adalah bagai meletakkan jiwa dalam patung batu , sia-sia.
Ia cuma tertunduk dengan kedua telapak tangan menutupi wajahnya ,
sembari duduk di bangku kayu reyot.

Tak dinyana , sang dermawan telah memasuki gubugnya ,
menyentuh pelahan pada pundak lelaki pincang itu.
Dan bagi sang dermawan , ia merasa ada yg berbeda kali ini ,
ketika diketahuinya lelaki pincang itu dalam susana hati galau ,
dan ia merasa keberadaannya yg dirasakannya lebih tinggi dari penerima ,
sedikit mulai ada terhadap lelaki pincang itu.

“Engkau tahu aku akan tetap kemari ?”

“Berharap saja tak berani , rasanya terlalu tinggi.”

“Lalu mengapa engkau tak hadir dan bersama mereka ?”

“Mungkin kau sadari , bahwa aku punya keberbedaan dengan mereka ,
sekalipun tetap ada kesamaan.
Aku meminta maaf untuk ucapanku kemarin.”

“Aku sudah memaafkan sebelum malam membawaku lelap.
Akupun meminta maaf atas kata-kataku.
Kuhargai keberbedaanmu , . . sekalipun sempat membuatku kagum ,
namun sayangnya sekaligus mengusik keberadaanku.”

Lelaki pincang itu cuma terdiam mendengar sang dermawan berkata-kata ,
setelah duduk di bangku reyot , didepannya.

“Aku memang belum mampu membedakan mana yg lebih baik diantara yg baik.
Sekalipun oleh hal kemarin ,
hal baik yg akan kulakukan untukmu tidak akan berubah ,
hanya mungkin kita tidak lagi bisa berbincang seperti yg lalu.”

“Sekalipun dalam hatiku ingin , . .
melihatmu membiarkan aku berderma , memberi , kepada siapa saja ,
sekalipun kepada orang yg menurut neraca hatimu tak lagi pantas.
Siapakah dari kita yg bisa memberi nilai pada ‘pantas’ ,
tanpa melibatkan hati dan pikir , kesenangan diri ?”

“Meski kuakui , ada juga sekali-kalinya inginku melihatmu membungkuk.
Bukan , . . bukan karena aku ,
tapi karena memang sudah saatnya engkau membungkuk ,
sekurangnya hal itu terbersit begitu saja dalam pikirku.
Namun aku sudah terlanjur tahu dan semakin meyakini ,
kata-kataku tak akan mengubahmu ,
engkau tak akan melakukan hal seperti mereka.”

“Yg kuminta darimu , biarkan saja aku berderma ,
karena pelahan akan kucoba sedikit demi sedikit mengurangkan ,
memberi kepada mereka yg sebenarnya memang tak lagi pantas ,
berada dalam kaum penerima.
Semoga aku juga bisa mengajak ia menyadari ,
sudah saatnya ia menjadi pemberi , kepada semua orang yg layak menerima ,
betapapun kecilnya yg bisa ia berikan.”

“Percayalah , aku akan tetap baik kepadamu lebih dari yg lain ,
kalaupun engkau mengatakan karena hatiku indah , hatiku mulia ,
itu tidak yg sepenuhnya benar ,
tapi karena engkau memang pantas menerimanya dariku.”

Lelaki pincang itu cuma tersenyum ,
ia mulai belajar tidak berkata banyak ,
namun ia juga tak hendak belajar hipokrit ,
ia hanya belajar menerima dan mensyukuri.

Dalam hatinya ada setitik nyala api.
Setidaknya , sebagai burung ia sudah menunaikan wajibnya , . . berkicau.
Tidak mencicit seperti tikus ketika mendapat remah roti ,
lalu menelusup ke liang tanah.

Lelaki pincang itu hanya mampu berharap dengan doa ,
semoga Yang Maha Kuasa selalu melimpahi kesehatan dan berkat untuk sang dermawan.
Semoga suatu saat ia mempunyai sesuatu yg cukup berharga ,
untuk dipersembahkannya kepada sang dermawan.
 

Hari bergulir dan terus bergulir ,
kehidupan yg berulang masih terjadi ,
meski memiliki dan memberi nuansa yg berbeda.

Sang dermawan masih terus membagi derma , memberi kasih.
Penerima , ada yg datang , tetap tinggal dan ada pula yg pergi.
Keduanya sebenarnya dalam keberadaan yg setimbang ,
karena hanya akan disebut pemberi bila ada yg menerima ,
hanya akan disebut menerima bila ada yg memberi.
Seperti halnya di sebut terang karena ada gelap sebagai pembanding.
Namun tetap saja ada yg membedakannya , . . . nilai.

N i l a i ? . . . . . . . .
Ach . . . . . . . . .
                                                                                S.O.T.R , 02 Maret ’10
                                                                                Untuk “Cinta”

=================================================

« Older entries